"Kami umat Hindu meyakini bahwa Gunung Agung adalah istananya dewa dan dewi, serta roh leluhur yang sudah meninggal," tutur Koordinator Pemandu Pendakian Gunung Agung, Komang Kayun.
Gunung
Agung merupakan salah satu tempat yang paling disakralkan umat Hindu di Bali.
Gunung Agung juga menjadi tantangan tersendiri bagi para pecinta pendaki
gunung. Penosa Gunung Agung juga mampu menarik hati para wisatawan untuk makin
mencintai Bali.
Di sisi
barat daya Gunung Agung terdapat Pura Agung Besakih, salah satu tempat
beribadat yang juga paling sakral. Tak jauh dari pura terdapat Tirta Giri
Kusuma dan Pura Pengubengan.
Di Tirta Giri Kusuma umat Hindu mengambil air suci
untuk menyempurnakan yadnya (upacara
persembahan) yang mereka lakukan. Setiap desa yang melakukan yadnya diharuskan nuwur tirta (mengambil air suci) dengan meminta izin dan menaruh
persembahan untuk dewa.
Para
pendaki biasanya mencapai puncak gunung sakral ini lewat dua jalur populer,
yakni Pura Agung Besakih dan Pura Pasar Agung.
Sebelum pendakian harus
dilakukan ritual ibadah di kedua pura untuk meminta izin. Selain mendaftarkan
diri di pos pendakian, pendaki juga wajib menaati peraturan adat serta
menghindari pantangan-pantangan tertentu.
Sayangnya,
banyak dari para pendaki yang melanggar tata krama dan peraturan adat. Hal ini
berujung pada terjadinya hal-hal mistis diluar nalar.
Tersesat di Gunung Agung
Kejadian
mistis seperti itu pernah dialami oleh Ayu N Surya. Pendaki wanita itu
mengadakan event Trail Running di Gunung Agung dengan rute Pura Pasar Agung -
Puncak - Pura Besakih - Balai Desa Sebudi.
Salah
satu peserta tersesat setelah melewati puncak. Beruntung sepanjang pendakian
terdapat sinyal ponsel, sehingga pendaki tersebut melapor kepada panitia dan
memberitahukan posisinya. Hampir 24 jam pencarian, dari cuaca yang awalnya
cerah, tiba-tiba hujan deras dan tertutup kabut. Para penyelenggara dan
pemangku adat melakukan sembahyang di Pura Besakih, memohon agar dipermudah dan
dilancarkan proses evakuasi.
Menurut
salah satu pemangku adat, upacara harus dilakukan di dua pura yang mengapit
Gunung Agung (Besakih dan Pasar Agung). Namun mengingat dana yang terbatas, Ayu
dan kawan-kawan memang hanya melakukan upacara di area Pura Pasar Agung.
Sedangkan musibah yang terjadi masuk dalam wilayah Pura Besakih.
Korban
akhirnya berhasil dievakuasi. Ia bercerita bahwa usai melewati puncak,
tiba-tiba kabut menghadang. Ia terpeleset dan terus mengarah ke jalur yang
tidak semestinya.
Biasanya
kalau ada orang hilang atau celaka di Gunung Agung biasanya karena orang itu
kotor. Entah kotor seperti apa yang dimaksud. Mungkin salah satunya niatnya
tidak baik, atau berbuat yg enggak-enggak.
Pendaki yang tubuhnya seperti
lumpuh
"Salah satu pantangannya,
jika ada keluarga dekat atau sepupu yang meninggal tidak diperbolehkan mendaki
gunung. Karena mereka dalam keadaan bersedih," tutur Koordinator Pemandu
Pendakian Gunung Agung, Komang Kayun kepada KompasTravel.
Pantangan
lainnya, lanjut Komang, adalah saat haid atau datang bulan bagi wanita.
"Pendaki juga tidak boleh
membawa bahan makanan dari daging sapi, juga membawa perhiasan dari emas,"
tambahnya.
Lalu apa
dampaknya jika pendaki tak mengindahkan peraturan adat tersebut?
"Saya sering lihat sendiri
(hal mistis) muncul. Misalnya (pendaki) membawa daging sapi. Itu angin
menghalangi kita naik. Seperti sampai tak bisa jalan," kisahnya.
Ada pula
pendaki yang membawa emas, tubuhnya seperti lumpuh.
"Kelelahan luar biasa. Bukan
seperti kram, tapi kelelahan sampai tak bisa gerak. Keajaiban ini kami (para
pemandu Gunung Agung) yang menyaksikan, bukan saya sendiri," tambah Komang.
Tak ada
salahnya mengikuti aturan adat masyarakat setempat.
Kilas balik letusan Gunung Agung
1963
Konon
katanya cerita yang sama juga terjadi saat Gunung Agung meletus pada tahun
1963.
Dikutip
dari halaman www.serunik.com dikisahkan saat Gunung Agung meletus tahun 1963,
tak hanya juru kunci gunung Agung yang tak mau mengungsi.
Bahkan,
hampir semua lelaki dewasa dari beberapa desa “menyambut” lahar tumpahan gunung
Agung tersebut.
Lama
letusan Gunung Agung tahun 1963 berlangsung hampir 1 tahun, yaitu dari
pertengahan Februari 1963 sampai dengan 26 Januari 1964.
19
Februari 1963: Pukul 01.00 terlihat gumpalan asap dan bau gas belerang.
Pukul
03.00 terlihat awan yang menghembus dari kepundan, makin hebat bergumpal-gumpal
dan dua jam kemudian mulai terdengar dentuman yang nyaring untuk pertama
kalinya. Suara yang lama bergema ini kemudian disusul oleh semburan batu
sebesar kepalan tangan dan diakhiri oleh semburan asap berwarna kelabu
kehitam-hitaman.
Sebuah
bom dari jauh tampak sebesar buah kelapa terpisah dari yang lainnya dan
dilontarkan lewat puncak ke arah Besakih.
Udara
diliputi kabut, sedang abu mulai turun. Air di sungai mulai turun. Air di
sungai telah berwarna coklat dan kental membawa batu dengan suara gemuruh,
tanda lahar hujan permulaan.
Penghuninya
tetap tenang dan melakukan persembahyangan. Pukul 10.00 terdengar lagi suara letusan
dan asap makin tebal.
Pandangan
ke arah gunung terhalang kabut, sedang hujan lumpur mulai turun di sekitar
lerengnya. Di malam hari terlihat gerakan api pada mulut kawah, sedangkan kilat
sambung-menyambung di atas puncaknya.
Demikianlah,
kisah Gunung Agung yang hingga kini masih terus menjadi bom waktu. Mengingat letusan
dasyatnya tahun 1963 wajar saja jika para warga sekitar Gunung Agung sangat
ketat mengenai peraturan adat yang menyangkut Gunung Agung.
Jika
status Gunung Agung telah kembali normal, Anda bisa menikmati keindahan gunung
tertinggi di Pulau Dewata ini ditemani pemandu lokal.
Referensi :